Selasa, 02 Juni 2015

Kesalahan Lia Eden Sama Dengan Kesalahan Muhammad!

Kesalahan Lia Eden Sama Dengan Kesalahan Muhammad!

Oleh: H. Aljabar


Itulah pernyataan yang sudah dipikir matang-matang dari seorang saksi ahli lulusan Melbourne University jurusan Studi Islam, dalam sidang Mahkamah Konstitusi kasus Permohonan Penghapusan UU Penodaaan Agama. “Saya di ruang kelas selalu berpikir apakah menyembunyikannya atau membukanya. Saya sudah konsultasi ke teman-teman tentang pernyataan ini, apakah harus diungkapkan atau tidak. Saya juga sudah mengoreksi draft untuk MK hingga beberapa kali,” kata Luthfi Assyaukanie.

Pernyataan Luthfie membuat suasana sidang di MK memanas. Pihak terkait dari Muhammadiyah, NU, MUI, DDII pun sontak langsung mengajukan keberatan dan pertanyaan. Dan...“Munafik!” teriak massa dari balkon sidang (detikNews, 17 Februari 2010).

KESALAHAN APAKAH?

Terlebih dahulu kita perlu tahu kasus tragis Lia Aminudin, pendiri Komunitas Eden, yang kini lebih dikenal sebagai Lia Eden, pemimpin agama baru yang disebut Salamullah. Menurut Bunda Lia, peristiwa ajaibnya diawali sewaktu dia melihat sebuah bola bercahaya kuning berputar-putar di udara, dan lenyap ketika berada di atas kepalanya. Hal ini terjadi di serambi rumahnya di tahun 1974 tatkala ia lagi bersantai dengan abang mertuanya. Peristiwa ajaib kedua terjadi pada malam 27 Oktober 1995 ketika dia sedang ber-shalat. Ketika itulah dia merasakan kehadiran Jibril secara nyata. Dan tidak lama setelah itu, Lia Eden pun mulai menerima bimbingan Malaikat Jibril secara berkala, hingga kini.

Selama proses pembimbingan itu, ia mengatakan bahwa Malaikat Jibril menyucikan dan mendidik dirinya melalui ujian-ujian sehari-hari yang sangat berat, termasuk pengakuan-pengakuan kontroversial yang harus dinyatakannya kepada masyarakat atas perintah Jibril. Tuhan memberinya nama Lia Eden sebagai pengganti namanya yang lama.

Lia juga menyebut dirinya Imam Mahdi yang muncul di dunia sebelum hari kiamat untuk membawa amanat, keamanan dan keadilan di dunia.

Pada tahun 2000, agama Salamullah ini diresmikan oleh pengikut-pengikutnya sebagai sebuah agama baru. Agama Salamullah mengakui bahwa Nabi Muhammad SAW adalah nabi yang terakhir. Pernyataan bahwa Muhammad adalah Nabi terakhir, dimaksudkannya bukan sebagai “stop” bagi nabi lain yang muncul belakangan. Melainkan stop bagi Islam, yang memang ia telah diberikan wewenang oleh Tuhan untuk menghapuskannya. Lia Eden justru mengakui sosok pembawa kepercayaan yang lain seperti Buddha Gautama, Yesus Kristus dan Kwan Im, Dewi pembawa rahmat yang disembah orang Tionghoa akan muncul kembali di dunia. Ia juga menempatkan diri sebagai Bunda Maria dan sekaligus sebagai inkarnasi Jibril dalam wujud fisiknya, yang dari waktu ke waktu menerima wahyu untuk disampaikan kepada umat manusia, termasuk teguran-teguran kepada Pemerintah Indonesia. Maka ia segera menjadi batu sandungan bagi Majelis Ulama Indonesia dan juga anasir-anasir radikal Islam yang menganggapnya sebagai bidat dan penghujat Islam.

Ia ditangkap atas dasar penistaan agama, dan pengadilan menjatuhkan hukuman dua tahun penjara kepadanya. Antara lain atas dakwaan mengajarkan ber-shalat bukan hanya dalam satu bahasa Arab, memelintirkan tafsiran pada sejumlah ayat-ayat Al-Quran demi mendukung gagasan ke-jibrilan-nya, serta menghalalkan makan babi. Lia Eden sempat meminta majelis hakim untuk menghadirkan Jibril ke persidangan. Ia menyatakan, pertanyaan majelis hakim seharusnya ditujukan kepada Jibril, bukan dirinya. Namun dipenjara selama 2 tahun tidak membuat pimpinan Kerajaan Eden ini tobat dari iman dan ajarannya. Setelah bebas dari Rutan Pondok Bambu pada 30 Oktober 2007, ia menyatakan akan terus melanjutkan ajarannya meskipun divonis sebagai ajaran sesat oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan MUI. Dan benarlah! Tak lama kemudian Lia meneruskan ajaran yang diyakininya, dan belakangan ini ia ditangkap lagi dan dijatuhi hukuman selama dua setengah tahun! Lia terbukti bersalah melakukan penistaan dan penodaan agama. Putusan ini dibacakan oleh Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, awal Juni 2009, dan menyatakan Lia terbukti melakukan penistaan agama karena telah menyebarkan 4 risalah kepada berbagai institusi termasuk Presiden RI pada tanggal 23 November hingga 2 Desember 2008. Diantaranya pernyataan menyerukan penghapusan agama islam dan agama-agama lainnya.

Sekalipun Lia Eden ditetapkan menjadi terdakwa dengan tuduhan penodaan atas agama Islam, namun ia bersikukuh berpendapat bahwa penghapusan agama yang dimintanya bukan penodaan agama. Melalui rilis yang dibagikan di Polda Metro Jaya, Jakarta tertanggal 16/12/2008, Lia Eden menyebutkan, tidak ada pasal hukum apa pun yang dapat dipaksakan untuk menjerat dia atau pengikutnya sebagai tersangka.

Berikut edaran Lia Eden:

Aku Malaikat Jibril turun tangan menjadikan peristiwa ini untuk memperjelas hukum yang salah, yaitu pasal 156 a KUHP tentang penodaan agama yang telah 2 kali ingin dijeratkan sebagai kesalahan Lia Eden. Itu karena tidak ada pasal hukum yang bisa dipakai. Tetapi apakah keadilan hukum dapat diharapkan sedemikian. Fatwa Tuhan tentang penghapusan semua agama bukan kejahatan penodaan agama. Marilah seluruh umat mengkaji tentang fatwa Tuhan yang Maha Kudus tersebut. Sebab, Lia Eden dan semua pengikutnya akan bertahan menyatakan diri tidak bersalah menghadapi laporan Abdurahman Assegaf yang nyata-nyata seorang teroris dan menyulut anarkisme dan perusakan rumah ibadah. Apakah laporannya itu lebih dipentingkan kepolisian RI atau kebenaran wahyu Tuhan. Aku Malaikat Jibril membalikkan semua dan aku akan mengakhiri kebiadaban agama di dunia ini (detikNews, 16/12/2008).

Lia Eden kembali ditangkap oleh pihak kepolisian. Namun ia tetap pada pendiriannya, dan memproklamirkan dirinya sebagai utusan Allah lewat Jibril. Pro & Kontra menghiasi penangkapan kembali Lia Eden, dan kali ini, disamping Jaringan Islam Liberal, ketua Badan Pengurus SETARA Institute, Hendardi, menganggap ditangkapnya Lia Eden sebagai bukti bahwa keyakinan seseorang atau komunitas tidak bisa diadili. “Sekalipun Lia Aminudin telah dihukum selama 2 tahun, tetap saja keyakinannya tidak akan bisa sirna dan tetap menjadi keyakinannya. Keyakinan bukanlah domain hukum tapi soal yang transendental, karena itu dalam peradaban yang humanis, hak kebebasan beragama haruslah dijamin”, kata Hendardi dalam rilis kepada detikcom, Senin (15/12/2008).

Menurut Hendardi, hukum bekerja pada domain material, terukur, dan konkret, karena itu hukum beroperasi di atas fakta-fakta hukum, bukan fantasi atau asumsi para penegak hukum atas sebuah tindakan kejahatan. Kebebasan beragama adalah hak dasar setiap manusia yang dijamin dalam konstitusi Indonesia dan hukum internasional hak asasi manusia. Karena itu, pembatasan atas nama apa pun tidak bisa dibenarkan. Sebaiknya pemerintah belajar dari berbagai peristiwa serupa, bahwa membunuh keyakinan orang tidaklah mungkin dilakukan oleh negara, sekalipun dengan jalan kekerasan. Indonesia yang telah meratifikasi Kovenan Sipil dan Politik, sesungguhnya berkewajiban memenuhi hak untuk bebas berkeyakinan.

Luthfie Assyaukanie PhD., saksi ahli untuk UU Penodaan Agama ini memang mencontohkan apa kesamaannya seorang Lia Eden dengan seorang Muhammad dalam hal yang dipersalahkan masyarakat. Dalam sidang Mahkamah Konstitusi di Gedung MK, tanggal 17 Februari 2010, saksi ahli ini menilai kasus Lia Eden sama dengan awal penyebaran Islam oleh nabi Muhammad SAW. Dalam pandangan ilmu keislamannya yang jernih, ia cukup berani berkata: “Apa yang dilakukan oleh Lia Aminudin, sama seperti yang dilakukan Nabi Muhammad. Kesalahan Lia sama dengan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad waktu munculnya Islam.” Menurut dia, awalnya Islam (dianggap) salah menurut orang Quraisy. Muhammad lalu dikejar-kejar oleh kelompok mayoritas. Hal ini sama dengan sekarang, anggapan dan perlakuan orang terhadap Lia Eden.


KESALAHAN LIA EDEN YANG SAMA FATAL DENGAN MUHAMMAD

Luthfie Assyaukanie cukup berani menganalogikan Lia dengan Muhammad, sehingga pada zamannya masing-masing keduanya sama-sama telah dikejar-kejar oleh kaum mayoritas setempat. Tetapi agaknya Lutfie belum cukup berani mengungkapkan semua yang diketahui-nya sebagai seorang ilmuwan dalam Study Islam, yaitu menganalogikan jenis kesamaan yang jauh lebih fundamental diantara kedua pihak tersebut. Sebab apa yang telah diperbandingkan Luthfie hanyalah fenomena keagamaan yang memang terjadi dimana-mana. That’s no big deal! Bukankah para rasul Tuhan yang dianggap membawa “ajaran-baru” selalu dianggap mengganggu dan sesat, didustakan dan dibunuh? Di abad ke-7, Al-Quran sendiri menegaskan hal-hal semacam ini berulangkali:

Apakah setiap datang kepadamu seorang rasul membawa sesuatu (pelajaran) yang tidak sesuai dengan keinginanmu lalu kamu menyombong; maka beberapa orang (diantara mereka) kamu dustakan dan beberapa orang (yang lain) kamu bunuh? (Qs.2:87, 5:70)

Dan di abad ke Satu (Masehi), bukankah Yesus dan praktis semua rasulnya juga ditangkap, dianiaya dan dibunuh? Itu semua terjadi karena kebenaran dan keadilan dunia disandarkan pada nafsu kekuasaan mayoritas, bukan kepada hati nurani dan hikmat yang terdalam. Ketika tradisi dan agama main-stream berhadapan dengan gagasan “asing” yang baru muncul dan yang masih lemah (dalam kekuatan politik dan fisik) dibandingkan dengan pihak minoritas, maka mayoritas cenderung merasa dirinya terganggu dan terancam. Ia sebagai abang-tua merasa harus memberi pelajaran kepada si pendatang dan bukannya diberi pelajaran!

Tidakkah hal yang sama terjadi pula pada awal-awal pemunculan aliran Syi’ah di tengah-tengah mayoritas Sunni? Mereka juga sempat dinyatakan sebagai sekte Islam yang sesat, menyesatkan, dan kufur. Lihat terbitan LPPI tentang Makalah Seminar Nasional Tentang Syi’ah tahun 1997. Kata-kata sambutan dari semua tokoh-tokoh besar Islam di situ telah menghujat Syi’ah sedemikian bersalah dan berbahayanya, sehingga menginginkan aliran ini dilarang di Indonesia. Karena seringnya mereka “dikejar-kejar” di dunia, maka Syi’ah harus menghalalkan doktrin penipuan-suci yang terpaksa dilakukannya, yang terkenal disebut sebagai taqiyah, dusta mana didasarkan pada benih ajaran Muhammad juga (Qs.16:106, 3:28).

Ketika keselamatan mereka terancam oleh kaum Sunni, maka pengingkaran iman Syi’ah mereka (dengan berpura-pura menjadi penganut Sunni sementara) dinyatakan halal demi nyawa dan Islam Syi’ah! Belakangan, karena doktrin taqiyah menunjukkan keampuhan, maka taqiyah kini malah dianut secara luas dalam segala bidang kehidupan, ya oleh Syi’ah, ya oleh Sunni – dengan mantera “demi Islam”! Semua pihak merujuk kepada Muhammad yang pernah berkata: “Taqiyah akan berjalan hingga kepada hari kebangkitan” (Shahih Bukhari Vol. 9, Buku 89).

Kini Syi’ah telah bangkit menjadi perkasa di Indonesia seperti sekarang ini dibawah kepeloporan Iran. Maka siapakah yang usil atau berani mengejar-ngejar mereka seperti dulu? Toko-toko buku malahan penuh dengan literatur-literatur mereka, tersedia secara bebas bahkan dominan! Inilah fenomena umum dalam analogi “kesalahan Lia Eden sama dengan kesalahan Muhammad”. Tetapi, that’s no big deal! Bahkan bukan berita (news) lagi. Itu bukan bagian dari kesalahan fundamental yang sama bagi keduanya. Apalagi pihak mayoritas kini tidak cukup punya integritas untuk menuding pihak lainnya ber-taqiyah ria.

Kesalahan yang sama dan yang utama adalah justru terletak pada kenyataan bahwa mereka sama-sama mengklaim dirinya sendiri sebagai Utusan Allah via Jibril! Tidak ada Nabi terdahulu yang mengurapi-nya. Tidak ada otoritas Tuhan yang menyaksikan kerasulan dirinya. Semisal Lia Eden, kita tahu betapa dia mengklaim dirinya sendiri lewat wahyu “Peresmian Kerajaan Tuhan” tahun 2005.

Aku Allah. Aku Tuhanmu. Aku sedang di hadapanmu. Aku menjadikan Kerajaan-Ku di sini. Jadilah, maka jadilah. Dan Aku jadikan Lia Eden ratu dan raja sekaligus di Kerajaan-Ku Eden. Jadilah, maka jadilah. Akulah pencipta semesta. Dan Akulah yang menjadikan dan meresmikan Kerajaan-Ku itu di sini. Dan apabila Aku telah meresmikan Kerajaan-Ku di sini, maka jadilah penghakiman-Ku bagi seluruh umat manusia di dunia. Tiadalah ada kebahagiaan, tiadalah ada kegembiraan tiadalah ada kemaslahatan. Semua orang menderita dan Aku hakimi. Tapi di Surga-Ku, Kudirikan Kerajaan-Ku. Dan inilah hari Kuturunkan Kerajaan-Ku. Kujadikan fatwa-Ku ini sebagai peresmian Kerajaan-Ku di atas bumi. Jadilah, maka jadilah…dst.

Begitu pulalah pola kejadian kenabian Muhammad. Ia dikunjungi dan ditekan/dicekik oleh Ruh (?) di gua Hira. Disuruh membacakan ayat, “Iqra!” maka selang beberapa waktu kemudian ia menganggap saat “Iqra” tersebut itulah sebagai saat pentahbisan (pengurapan) kenabian dirinya, Rasul Allah Yang Maha Kuasa yang mengangkat dirinya sendiri!

Tetapi apa yang diam-diam dirasakan oleh sebagian Muslim yang bernalar kritis tentang jati diri “Jibril”? Bukankah kesosokannya sunguh sebuah misteri terbesar dalam Islam yang tidak berani dibukakan oleh Muslim? Telah diutarakan dalam artikel-artikel di sini (tentang Jibril versus Gabriel), bahwa tak ada Quran dan tak ada Islam jikalau tak ada Jibril. Namun nyatanya dalam seluruh Quran, nama Jibril hanya muncul diperkenalkan dan disebutkan 3 kali, setelah belasan tahun Muhammad digeluti oleh Jibril! (Qs.2:97, 98 dan 66:4). Itu tentu pemunculan yang sangat terlambat dan tidak wajar, karena ia tidak pernah diperkenalkan secara pantas di Mekah!

[Awas, jangan Anda terkecoh dengan periwayatan tradisi, seolah Jibril telah memperkenalkan dirinya dengan berseru kepada Muhammad demi mencegah dia bunuh diri dari atas bukit: “Muhammad! Engkau Rasul Allah, dan aku Jibril”. Itu bukan kalimat perkenalan diri. Itu juga bukan disampaikan sebagai kalimat wahyu dari Ruh (melainkan tuturan Ibn Ishaq dalam Sirat Nabi), padahal perkenalan-diri dari satu sosok Ruh, mutlak harus berupa wahyu agar kredibel dan layak. Dengan hanya menyebut “Aku Jibril”, maka Jibril sungguh tidak memperkenalkan siapa dirinya, kecuali berusaha merancukan kesejatian dirinya].

Penampilan yang berubah-ubah serta penyebutan-nama yang simpang siur dari ruh ini (Ruhulqudus, Ruhul-Amin, Rasul Karim, Ruh daripadaNya, dzu Mirah dll., atau hanya sekedar “Ruh” saja), telah disimplifikasi sesukanya oleh para ulama seolah-olah dia memanglah Jibril yang sama dengan Gabriel Alkitab yang berkata secara jelas: “Akulah Gabriel yang melayani Allah dan aku telah diutus untuk berbicara dengan engkau untuk menyampaikan kabar baik ini kepadamu” (Lukas 1:19).

Sekalipun sosok Jibril itu tidak jelas bagi Muhammad maupun Lia, namun Lia mengklaim Jibril sebagaimana Muhammad. Mereka serta merta mengklaim dirinya masing-masing sebagai Utusan Allah. Keduanya tidak pernah membuktikan Jibril-nya itu siapa, melainkan secara naïf meng-copy kesamaannya dengan Gabriel Alkitab, namun gagal. Sebab yang asli turun sebagai utusan Tuhan dengan otoritas surgawi yang jelas. Gabriel mampu menunjukkan kuasa bernubuat maupun kuasa bermujizat untuk membuktikan dirinya dari surga, hal yang tidak pernah mampu diperlihatkan oleh Jibrilnya Muhammad maupun Lia. Dia menubuatkan kelahiran Yahya dan Isa dari rahim-rahim yang mustahil dapat hamil. Sedang Jibrilnya Muhammad hanya mampu mencontek kisah lama Zakharia dan Maryam, itupun diriwayatkan dengan kesalahan-kesalahan (di Surat Maryam), lalu coba diperbaiki dalam surat Ali Imran.

Misalnya antara lain, di surat Maryam dikatakan “Jibril” datang kepada Maryam dalam bentuk seorang laki-laki sempurna (ayat 17), lalu diwahyukan di surat Ali Imran 3:42,45 menjadi “para malaikat” (jamak). Sementara di surat Maryam, Tuhan sendiri yang berkata-kata langsung dengan Zakharia, tiba-tiba di surat Ali Imran Tuhannya dirubah menjadi para malaikat (jamak, ayat 39) – bahkan diterjemahkan sebagai “Jibril” – demi mencocokannya dengan risalah di Kitab Injil!

Gabriel berkuasa menghukum Zakharia menjadi bisu seketika, dan tepat menubuatkan kapan bisunya akan terbebaskan. Sedang Jibrilnya Lia meleset ketika menubuatkan hari bencana Tsunami yang akan menerjang pulau Jawa di awal tahun 2005, khususnya di Pelabuhan Ratu Pantai Selatan, lalu mencari alasan untuk mengaburkan kesalahannya. Gabriel tahu dan menyapa nama dan memberi salam damai kepada orang-orang yang dikunjunginya. Dia bukan sosok misteri (baca: siluman) yang mengunjungi Muhammad di gua dengan gaya “mencekik” dan menteror, serta menyampaikan “wahyu” dengan memberatkan kejiwaan NabiNya lewat deringan lonceng di telinganya, bibir bergemetaran, jantung berdegub dan keringat bercucuran dll. Dia...Dan yang paling pokok – Gabriel berbeda hakekat dengan Jibril – dia tidak pernah memberitakan suatu firman Tuhan lalu mengacak dan menggantikan isi beritanya, sedang Jiril membisikkan ayat-ayat Allah kepada Muhammad untuk kemudian diacak-acak urutannya (non kronologis), dan bahkan untuk dibatalkan dan digantikan dengan ayat yang lain (doktrin nasikh-mansukh, Qs.2:106).

Pernyataan Luthfie “Kesalahan Lia Eden sama dengan kesalahan Muhammad” tidaklah meleset dari segi bukti dan saksi sejarah. Mereka sama salahnya karena memproklamirkan risalah surga dan kenabian-diri tanpa menyertakan bukti dan saksi pihak ketiga. Sama-sama Jibril-nya yang misterius harus mereka bela, sehingga perlu mereka legendakan secara besar-besaran agar tak kentara ia tak berkuasa untuk bernubuat dan melakukan mujizat. Adakah Zakharia, Maryam, Yahya dan Isa Almasih menggembar-gemborkan dan melegendakan Gabriel mereka? Tidak ada, dan tak perlu! Tetapi nyatanya, mereka yang melegendakan Jibrilnya justru tidak bisa saling berdialog intim dengan sang Jibril sebagaimana Zakharia dan Maria bisa berdialog dan bertanya apa saja kepada Gabriel. Semua pewahyuan Jibril hanya one-way-traffic, pendiktean yang keseluruhannya diucapkan sendiri dari mulutnya. Itu sebabnya kenapa Muhammad dan Lia tidak bisa bertanya dan berbincang-bincang dengan Jibrilnya sebagaimana Maryam bebas bertanya lebih jauh: “Bagaimana akan ada bagiku seorang anak laki-laki, sedang tidak pernah seorang manusia pun menyentuhku dan aku bukan (pula) seorang pezinah!” (Qs.19:20)

Jadi, kita pantas bertanya, kenapa Jibril perlu mengubah pola penyampaian wahyuNya kepada nabi terbesarnya? Adakah wahyu satu arah lebih unggul ketimbang wahyu dialogis? Siapakah Jibril yang mengubah-ubah hal itu?

Kita tidak begitu tahu siapa persisnya yang telah turut mengabsahkan Lia Eden sebagai utusan Allah selain dirinya sendiri. Tetapi kita lebih tahu dari buku biografi Muhammad yang otoritatif, bahwa justru Siti Khadijah (!) yang men-test Jibril, lalu mengabsahkan kenabian suaminya, dan akhirnya ini dipercaya dan dibenarkan oleh Muhammad pula, dan diikuti oleh semua Muslim yang merasa tak perlu meragukan lagi apa pun tentang isu kenabian Muhammad!

Testing Khadijah adalah menarik, sekaligus lucu. Terbit gagasannya untuk melakukan testing apakah ruh (“Jibril”) yang mengunjungi suaminya itu ruh dari Tuhan atau ruh-nya setan. Asumsinya adalah bahwa seorang “Jibril” tentulah tidak bermata jalang yang suka hal-hal yang porno. Jadi ia pun memberi instruksi kepada Muhammad agar segera memberitahukan kepada-nya apabila Muhammad melihat temannya (Jibril) itu datang mengunjunginya. Ketika “teman” tersebut datang, maka Khadijah menyuruh suaminya duduk di paha kirinya sambil bertanya: “Apakah engkau masih melihat dia?” Muhammad menjawab “Ya”. Lalu Khadijah minta Muhammad pindah duduk ke paha kanannya sambil bertanya hal yang sama. Ketika Muhammad menjawab bahwa ia masih melihat temannya, maka ia pun melenguh dan mencopot jilbabnya (memperlihatkan aurat) dan menanyakan hal yang sama. Dan kali ini Muhammad bilang bahwa temannya tidak lagi kelihatan! Maka khadijah-pun berteriak, “Bersukacitalah, sepupuku, dan bergembiralah, sebab demi Allah, itu adalah benar-benar malaikat dan bukan setan!

[Ibn Ishaq menambahkan, “Ketika saya menceritakan tradisi ini kepada Abd Allah Ibn Hassan, ia berkata, “Saya mendengar periwayatan yang sama dari ibu saya Fatima, putri Husain, atas nama Khadijah.” Menurut versi ini Khadijah menempatkan Nabi ke bawah pakaiannya (bukan diatas pahanya), saat yang mana sang Jibril lalu menghilang”]. (lihat Ibn. Hisham “The Life of Muhammad”, vol.1, p.71, expanded by Abd al-Masih).

Itulah testing satu-satunya yang pernah ada terhadap kenabian Muhammad. Itu tidak dilakukan oleh nabi yang ditunjuk Tuhan, melainkan oleh istrinya sendiri yang begitu ingin mendamaikan hati suaminya yang gelisah. Khadijah bukan kepanjangan tangan Tuhan, ia bahkan belum masuk Islam dikala itu dan tidak sempat menunaikan shalat lima waktu. Sayangnya (dan lucunya) testingnya sebisa-bisanya hanya dikaitkan dengan unsur seksual kedagingan yang menjadikan suaminya sah seorang Nabi Allah! “Jibril” yang tidak hadir dalam “adegan aurat wanita” dipastikan adalah Utusan Tuhan yang sejati, dan bukan jibril-jibrilan?! Tetapi yang paling harus disayangkan adalah bahwa proklamasi Khadijah ini justru diterima mentah-mentah oleh Nabi Muhammad sebagai sah dari Tuhannya! Siapa yang lebih bersalah???