Kesalahan Lia Eden Sama Dengan Kesalahan Muhammad!
Oleh: H. Aljabar
Itulah
pernyataan yang sudah dipikir matang-matang dari seorang saksi ahli
lulusan Melbourne University jurusan Studi Islam, dalam sidang Mahkamah
Konstitusi kasus Permohonan Penghapusan UU Penodaaan Agama. “Saya di
ruang kelas selalu berpikir apakah menyembunyikannya atau membukanya.
Saya sudah konsultasi ke teman-teman tentang pernyataan ini, apakah
harus diungkapkan atau tidak. Saya juga sudah mengoreksi draft untuk MK
hingga beberapa kali,” kata Luthfi Assyaukanie.
Pernyataan
Luthfie membuat suasana sidang di MK memanas. Pihak terkait dari
Muhammadiyah, NU, MUI, DDII pun sontak langsung mengajukan keberatan dan
pertanyaan. Dan...“Munafik!” teriak massa dari balkon sidang
(detikNews, 17 Februari 2010).
KESALAHAN APAKAH?
Terlebih
dahulu kita perlu tahu kasus tragis Lia Aminudin, pendiri Komunitas
Eden, yang kini lebih dikenal sebagai Lia Eden, pemimpin agama baru yang
disebut Salamullah. Menurut Bunda Lia, peristiwa ajaibnya diawali
sewaktu dia melihat sebuah bola bercahaya kuning berputar-putar di
udara, dan lenyap ketika berada di atas kepalanya. Hal ini terjadi di
serambi rumahnya di tahun 1974 tatkala ia lagi bersantai dengan abang
mertuanya. Peristiwa ajaib kedua terjadi pada malam 27 Oktober 1995
ketika dia sedang ber-shalat. Ketika itulah dia merasakan kehadiran
Jibril secara nyata. Dan tidak lama setelah itu, Lia Eden pun mulai
menerima bimbingan Malaikat Jibril secara berkala, hingga kini.
Selama
proses pembimbingan itu, ia mengatakan bahwa Malaikat Jibril menyucikan
dan mendidik dirinya melalui ujian-ujian sehari-hari yang sangat berat,
termasuk pengakuan-pengakuan kontroversial yang harus dinyatakannya
kepada masyarakat atas perintah Jibril. Tuhan memberinya nama Lia Eden
sebagai pengganti namanya yang lama.
Lia juga menyebut dirinya
Imam Mahdi yang muncul di dunia sebelum hari kiamat untuk membawa
amanat, keamanan dan keadilan di dunia.
Pada tahun 2000, agama
Salamullah ini diresmikan oleh pengikut-pengikutnya sebagai sebuah agama
baru. Agama Salamullah mengakui bahwa Nabi Muhammad SAW adalah nabi
yang terakhir. Pernyataan bahwa Muhammad adalah Nabi terakhir,
dimaksudkannya bukan sebagai “stop” bagi nabi lain yang muncul
belakangan. Melainkan stop bagi Islam, yang memang ia telah diberikan
wewenang oleh Tuhan untuk menghapuskannya. Lia Eden justru mengakui
sosok pembawa kepercayaan yang lain seperti Buddha Gautama, Yesus
Kristus dan Kwan Im, Dewi pembawa rahmat yang disembah orang Tionghoa
akan muncul kembali di dunia. Ia juga menempatkan diri sebagai Bunda
Maria dan sekaligus sebagai inkarnasi Jibril dalam wujud fisiknya, yang
dari waktu ke waktu menerima wahyu untuk disampaikan kepada umat
manusia, termasuk teguran-teguran kepada Pemerintah Indonesia. Maka ia
segera menjadi batu sandungan bagi Majelis Ulama Indonesia dan juga
anasir-anasir radikal Islam yang menganggapnya sebagai bidat dan
penghujat Islam.
Ia ditangkap atas dasar penistaan agama, dan
pengadilan menjatuhkan hukuman dua tahun penjara kepadanya. Antara lain
atas dakwaan mengajarkan ber-shalat bukan hanya dalam satu bahasa Arab,
memelintirkan tafsiran pada sejumlah ayat-ayat Al-Quran demi mendukung
gagasan ke-jibrilan-nya, serta menghalalkan makan babi. Lia Eden sempat
meminta majelis hakim untuk menghadirkan Jibril ke persidangan. Ia
menyatakan, pertanyaan majelis hakim seharusnya ditujukan kepada Jibril,
bukan dirinya. Namun dipenjara selama 2 tahun tidak membuat pimpinan
Kerajaan Eden ini tobat dari iman dan ajarannya. Setelah bebas dari
Rutan Pondok Bambu pada 30 Oktober 2007, ia menyatakan akan terus
melanjutkan ajarannya meskipun divonis sebagai ajaran sesat oleh
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan MUI. Dan benarlah! Tak lama kemudian
Lia meneruskan ajaran yang diyakininya, dan belakangan ini ia ditangkap
lagi dan dijatuhi hukuman selama dua setengah tahun! Lia terbukti
bersalah melakukan penistaan dan penodaan agama. Putusan ini dibacakan
oleh Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, awal Juni
2009, dan menyatakan Lia terbukti melakukan penistaan agama karena telah
menyebarkan 4 risalah kepada berbagai institusi termasuk Presiden RI
pada tanggal 23 November hingga 2 Desember 2008. Diantaranya pernyataan
menyerukan penghapusan agama islam dan agama-agama lainnya.
Sekalipun
Lia Eden ditetapkan menjadi terdakwa dengan tuduhan penodaan atas agama
Islam, namun ia bersikukuh berpendapat bahwa penghapusan agama yang
dimintanya bukan penodaan agama. Melalui rilis yang dibagikan di Polda
Metro Jaya, Jakarta tertanggal 16/12/2008, Lia Eden menyebutkan, tidak
ada pasal hukum apa pun yang dapat dipaksakan untuk menjerat dia atau
pengikutnya sebagai tersangka.
Berikut edaran Lia Eden:
Aku
Malaikat Jibril turun tangan menjadikan peristiwa ini untuk memperjelas
hukum yang salah, yaitu pasal 156 a KUHP tentang penodaan agama yang
telah 2 kali ingin dijeratkan sebagai kesalahan Lia Eden. Itu karena
tidak ada pasal hukum yang bisa dipakai. Tetapi apakah keadilan hukum
dapat diharapkan sedemikian. Fatwa Tuhan tentang penghapusan semua agama
bukan kejahatan penodaan agama. Marilah seluruh umat mengkaji tentang
fatwa Tuhan yang Maha Kudus tersebut. Sebab, Lia Eden dan semua
pengikutnya akan bertahan menyatakan diri tidak bersalah menghadapi
laporan Abdurahman Assegaf yang nyata-nyata seorang teroris dan menyulut
anarkisme dan perusakan rumah ibadah. Apakah laporannya itu lebih
dipentingkan kepolisian RI atau kebenaran wahyu Tuhan. Aku Malaikat
Jibril membalikkan semua dan aku akan mengakhiri kebiadaban agama di
dunia ini (detikNews, 16/12/2008).
Lia Eden kembali ditangkap
oleh pihak kepolisian. Namun ia tetap pada pendiriannya, dan
memproklamirkan dirinya sebagai utusan Allah lewat Jibril. Pro &
Kontra menghiasi penangkapan kembali Lia Eden, dan kali ini, disamping
Jaringan Islam Liberal, ketua Badan Pengurus SETARA Institute,
Hendardi, menganggap ditangkapnya Lia Eden sebagai bukti bahwa keyakinan
seseorang atau komunitas tidak bisa diadili. “Sekalipun Lia Aminudin
telah dihukum selama 2 tahun, tetap saja keyakinannya tidak akan bisa
sirna dan tetap menjadi keyakinannya. Keyakinan bukanlah domain hukum
tapi soal yang transendental, karena itu dalam peradaban yang humanis,
hak kebebasan beragama haruslah dijamin”, kata Hendardi dalam rilis
kepada detikcom, Senin (15/12/2008).
Menurut Hendardi, hukum
bekerja pada domain material, terukur, dan konkret, karena itu hukum
beroperasi di atas fakta-fakta hukum, bukan fantasi atau asumsi para
penegak hukum atas sebuah tindakan kejahatan. Kebebasan beragama adalah
hak dasar setiap manusia yang dijamin dalam konstitusi Indonesia dan
hukum internasional hak asasi manusia. Karena itu, pembatasan atas nama
apa pun tidak bisa dibenarkan. Sebaiknya pemerintah belajar dari
berbagai peristiwa serupa, bahwa membunuh keyakinan orang tidaklah
mungkin dilakukan oleh negara, sekalipun dengan jalan kekerasan.
Indonesia yang telah meratifikasi Kovenan Sipil dan Politik,
sesungguhnya berkewajiban memenuhi hak untuk bebas berkeyakinan.
Luthfie
Assyaukanie PhD., saksi ahli untuk UU Penodaan Agama ini memang
mencontohkan apa kesamaannya seorang Lia Eden dengan seorang Muhammad
dalam hal yang dipersalahkan masyarakat. Dalam sidang Mahkamah
Konstitusi di Gedung MK, tanggal 17 Februari 2010, saksi ahli ini
menilai kasus Lia Eden sama dengan awal penyebaran Islam oleh nabi
Muhammad SAW. Dalam pandangan ilmu keislamannya yang jernih, ia cukup
berani berkata: “Apa yang dilakukan oleh Lia Aminudin, sama seperti yang
dilakukan Nabi Muhammad. Kesalahan Lia sama dengan yang dilakukan oleh
Nabi Muhammad waktu munculnya Islam.” Menurut dia, awalnya Islam
(dianggap) salah menurut orang Quraisy. Muhammad lalu dikejar-kejar oleh
kelompok mayoritas. Hal ini sama dengan sekarang, anggapan dan
perlakuan orang terhadap Lia Eden.
KESALAHAN LIA EDEN YANG SAMA FATAL DENGAN MUHAMMAD
Luthfie
Assyaukanie cukup berani menganalogikan Lia dengan Muhammad, sehingga
pada zamannya masing-masing keduanya sama-sama telah dikejar-kejar oleh
kaum mayoritas setempat. Tetapi agaknya Lutfie belum cukup berani
mengungkapkan semua yang diketahui-nya sebagai seorang ilmuwan dalam
Study Islam, yaitu menganalogikan jenis kesamaan yang jauh lebih
fundamental diantara kedua pihak tersebut. Sebab apa yang telah
diperbandingkan Luthfie hanyalah fenomena keagamaan yang memang terjadi
dimana-mana. That’s no big deal! Bukankah para rasul Tuhan yang dianggap
membawa “ajaran-baru” selalu dianggap mengganggu dan sesat, didustakan
dan dibunuh? Di abad ke-7, Al-Quran sendiri menegaskan hal-hal semacam
ini berulangkali:
Apakah setiap datang kepadamu seorang rasul
membawa sesuatu (pelajaran) yang tidak sesuai dengan keinginanmu lalu
kamu menyombong; maka beberapa orang (diantara mereka) kamu dustakan dan
beberapa orang (yang lain) kamu bunuh? (Qs.2:87, 5:70)
Dan di
abad ke Satu (Masehi), bukankah Yesus dan praktis semua rasulnya juga
ditangkap, dianiaya dan dibunuh? Itu semua terjadi karena kebenaran dan
keadilan dunia disandarkan pada nafsu kekuasaan mayoritas, bukan kepada
hati nurani dan hikmat yang terdalam. Ketika tradisi dan agama
main-stream berhadapan dengan gagasan “asing” yang baru muncul dan yang
masih lemah (dalam kekuatan politik dan fisik) dibandingkan dengan pihak
minoritas, maka mayoritas cenderung merasa dirinya terganggu dan
terancam. Ia sebagai abang-tua merasa harus memberi pelajaran kepada si
pendatang dan bukannya diberi pelajaran!
Tidakkah hal yang sama
terjadi pula pada awal-awal pemunculan aliran Syi’ah di tengah-tengah
mayoritas Sunni? Mereka juga sempat dinyatakan sebagai sekte Islam yang
sesat, menyesatkan, dan kufur. Lihat terbitan LPPI tentang Makalah
Seminar Nasional Tentang Syi’ah tahun 1997. Kata-kata sambutan dari
semua tokoh-tokoh besar Islam di situ telah menghujat Syi’ah sedemikian
bersalah dan berbahayanya, sehingga menginginkan aliran ini dilarang di
Indonesia. Karena seringnya mereka “dikejar-kejar” di dunia, maka Syi’ah
harus menghalalkan doktrin penipuan-suci yang terpaksa dilakukannya,
yang terkenal disebut sebagai taqiyah, dusta mana didasarkan pada benih
ajaran Muhammad juga (Qs.16:106, 3:28).
Ketika keselamatan
mereka terancam oleh kaum Sunni, maka pengingkaran iman Syi’ah mereka
(dengan berpura-pura menjadi penganut Sunni sementara) dinyatakan halal
demi nyawa dan Islam Syi’ah! Belakangan, karena doktrin taqiyah
menunjukkan keampuhan, maka taqiyah kini malah dianut secara luas dalam
segala bidang kehidupan, ya oleh Syi’ah, ya oleh Sunni – dengan mantera
“demi Islam”! Semua pihak merujuk kepada Muhammad yang pernah berkata:
“Taqiyah akan berjalan hingga kepada hari kebangkitan” (Shahih Bukhari
Vol. 9, Buku 89).
Kini Syi’ah telah bangkit menjadi perkasa di
Indonesia seperti sekarang ini dibawah kepeloporan Iran. Maka siapakah
yang usil atau berani mengejar-ngejar mereka seperti dulu? Toko-toko
buku malahan penuh dengan literatur-literatur mereka, tersedia secara
bebas bahkan dominan! Inilah fenomena umum dalam analogi “kesalahan Lia
Eden sama dengan kesalahan Muhammad”. Tetapi, that’s no big deal! Bahkan
bukan berita (news) lagi. Itu bukan bagian dari kesalahan fundamental
yang sama bagi keduanya. Apalagi pihak mayoritas kini tidak cukup punya
integritas untuk menuding pihak lainnya ber-taqiyah ria.
Kesalahan
yang sama dan yang utama adalah justru terletak pada kenyataan bahwa
mereka sama-sama mengklaim dirinya sendiri sebagai Utusan Allah via
Jibril! Tidak ada Nabi terdahulu yang mengurapi-nya. Tidak ada otoritas
Tuhan yang menyaksikan kerasulan dirinya. Semisal Lia Eden, kita tahu
betapa dia mengklaim dirinya sendiri lewat wahyu “Peresmian Kerajaan
Tuhan” tahun 2005.
Aku Allah. Aku Tuhanmu. Aku sedang di
hadapanmu. Aku menjadikan Kerajaan-Ku di sini. Jadilah, maka jadilah.
Dan Aku jadikan Lia Eden ratu dan raja sekaligus di Kerajaan-Ku Eden.
Jadilah, maka jadilah. Akulah pencipta semesta. Dan Akulah yang
menjadikan dan meresmikan Kerajaan-Ku itu di sini. Dan apabila Aku
telah meresmikan Kerajaan-Ku di sini, maka jadilah penghakiman-Ku bagi
seluruh umat manusia di dunia. Tiadalah ada kebahagiaan, tiadalah ada
kegembiraan tiadalah ada kemaslahatan. Semua orang menderita dan Aku
hakimi. Tapi di Surga-Ku, Kudirikan Kerajaan-Ku. Dan inilah hari
Kuturunkan Kerajaan-Ku. Kujadikan fatwa-Ku ini sebagai peresmian
Kerajaan-Ku di atas bumi. Jadilah, maka jadilah…dst.
Begitu
pulalah pola kejadian kenabian Muhammad. Ia dikunjungi dan
ditekan/dicekik oleh Ruh (?) di gua Hira. Disuruh membacakan ayat,
“Iqra!” maka selang beberapa waktu kemudian ia menganggap saat “Iqra”
tersebut itulah sebagai saat pentahbisan (pengurapan) kenabian dirinya,
Rasul Allah Yang Maha Kuasa yang mengangkat dirinya sendiri!
Tetapi
apa yang diam-diam dirasakan oleh sebagian Muslim yang bernalar kritis
tentang jati diri “Jibril”? Bukankah kesosokannya sunguh sebuah misteri
terbesar dalam Islam yang tidak berani dibukakan oleh Muslim? Telah
diutarakan dalam artikel-artikel di sini (tentang Jibril versus
Gabriel), bahwa tak ada Quran dan tak ada Islam jikalau tak ada Jibril.
Namun nyatanya dalam seluruh Quran, nama Jibril hanya muncul
diperkenalkan dan disebutkan 3 kali, setelah belasan tahun Muhammad
digeluti oleh Jibril! (Qs.2:97, 98 dan 66:4). Itu tentu pemunculan yang
sangat terlambat dan tidak wajar, karena ia tidak pernah diperkenalkan
secara pantas di Mekah!
[Awas, jangan Anda terkecoh dengan
periwayatan tradisi, seolah Jibril telah memperkenalkan dirinya dengan
berseru kepada Muhammad demi mencegah dia bunuh diri dari atas bukit:
“Muhammad! Engkau Rasul Allah, dan aku Jibril”. Itu bukan kalimat
perkenalan diri. Itu juga bukan disampaikan sebagai kalimat wahyu dari
Ruh (melainkan tuturan Ibn Ishaq dalam Sirat Nabi), padahal
perkenalan-diri dari satu sosok Ruh, mutlak harus berupa wahyu agar
kredibel dan layak. Dengan hanya menyebut “Aku Jibril”, maka Jibril
sungguh tidak memperkenalkan siapa dirinya, kecuali berusaha merancukan
kesejatian dirinya].
Penampilan yang berubah-ubah serta
penyebutan-nama yang simpang siur dari ruh ini (Ruhulqudus, Ruhul-Amin,
Rasul Karim, Ruh daripadaNya, dzu Mirah dll., atau hanya sekedar “Ruh”
saja), telah disimplifikasi sesukanya oleh para ulama seolah-olah dia
memanglah Jibril yang sama dengan Gabriel Alkitab yang berkata secara
jelas: “Akulah Gabriel yang melayani Allah dan aku telah diutus untuk
berbicara dengan engkau untuk menyampaikan kabar baik ini kepadamu”
(Lukas 1:19).
Sekalipun sosok Jibril itu tidak jelas bagi
Muhammad maupun Lia, namun Lia mengklaim Jibril sebagaimana Muhammad.
Mereka serta merta mengklaim dirinya masing-masing sebagai Utusan Allah.
Keduanya tidak pernah membuktikan Jibril-nya itu siapa, melainkan
secara naïf meng-copy kesamaannya dengan Gabriel Alkitab, namun gagal.
Sebab yang asli turun sebagai utusan Tuhan dengan otoritas surgawi yang
jelas. Gabriel mampu menunjukkan kuasa bernubuat maupun kuasa
bermujizat untuk membuktikan dirinya dari surga, hal yang tidak pernah
mampu diperlihatkan oleh Jibrilnya Muhammad maupun Lia. Dia menubuatkan
kelahiran Yahya dan Isa dari rahim-rahim yang mustahil dapat hamil.
Sedang Jibrilnya Muhammad hanya mampu mencontek kisah lama Zakharia dan
Maryam, itupun diriwayatkan dengan kesalahan-kesalahan (di Surat
Maryam), lalu coba diperbaiki dalam surat Ali Imran.
Misalnya
antara lain, di surat Maryam dikatakan “Jibril” datang kepada Maryam
dalam bentuk seorang laki-laki sempurna (ayat 17), lalu diwahyukan di
surat Ali Imran 3:42,45 menjadi “para malaikat” (jamak). Sementara di
surat Maryam, Tuhan sendiri yang berkata-kata langsung dengan Zakharia,
tiba-tiba di surat Ali Imran Tuhannya dirubah menjadi para malaikat
(jamak, ayat 39) – bahkan diterjemahkan sebagai “Jibril” – demi
mencocokannya dengan risalah di Kitab Injil!
Gabriel berkuasa
menghukum Zakharia menjadi bisu seketika, dan tepat menubuatkan kapan
bisunya akan terbebaskan. Sedang Jibrilnya Lia meleset ketika
menubuatkan hari bencana Tsunami yang akan menerjang pulau Jawa di awal
tahun 2005, khususnya di Pelabuhan Ratu Pantai Selatan, lalu mencari
alasan untuk mengaburkan kesalahannya. Gabriel tahu dan menyapa nama dan
memberi salam damai kepada orang-orang yang dikunjunginya. Dia bukan
sosok misteri (baca: siluman) yang mengunjungi Muhammad di gua dengan
gaya “mencekik” dan menteror, serta menyampaikan “wahyu” dengan
memberatkan kejiwaan NabiNya lewat deringan lonceng di telinganya, bibir
bergemetaran, jantung berdegub dan keringat bercucuran dll. Dia...Dan
yang paling pokok – Gabriel berbeda hakekat dengan Jibril – dia tidak
pernah memberitakan suatu firman Tuhan lalu mengacak dan menggantikan
isi beritanya, sedang Jiril membisikkan ayat-ayat Allah kepada Muhammad
untuk kemudian diacak-acak urutannya (non kronologis), dan bahkan
untuk dibatalkan dan digantikan dengan ayat yang lain (doktrin
nasikh-mansukh, Qs.2:106).
Pernyataan Luthfie “Kesalahan Lia Eden
sama dengan kesalahan Muhammad” tidaklah meleset dari segi bukti dan
saksi sejarah. Mereka sama salahnya karena memproklamirkan risalah surga
dan kenabian-diri tanpa menyertakan bukti dan saksi pihak ketiga.
Sama-sama Jibril-nya yang misterius harus mereka bela, sehingga perlu
mereka legendakan secara besar-besaran agar tak kentara ia tak berkuasa
untuk bernubuat dan melakukan mujizat. Adakah Zakharia, Maryam, Yahya
dan Isa Almasih menggembar-gemborkan dan melegendakan Gabriel mereka?
Tidak ada, dan tak perlu! Tetapi nyatanya, mereka yang melegendakan
Jibrilnya justru tidak bisa saling berdialog intim dengan sang Jibril
sebagaimana Zakharia dan Maria bisa berdialog dan bertanya apa saja
kepada Gabriel. Semua pewahyuan Jibril hanya one-way-traffic, pendiktean
yang keseluruhannya diucapkan sendiri dari mulutnya. Itu sebabnya
kenapa Muhammad dan Lia tidak bisa bertanya dan berbincang-bincang
dengan Jibrilnya sebagaimana Maryam bebas bertanya lebih jauh:
“Bagaimana akan ada bagiku seorang anak laki-laki, sedang tidak pernah
seorang manusia pun menyentuhku dan aku bukan (pula) seorang pezinah!”
(Qs.19:20)
Jadi, kita pantas bertanya, kenapa Jibril perlu
mengubah pola penyampaian wahyuNya kepada nabi terbesarnya? Adakah wahyu
satu arah lebih unggul ketimbang wahyu dialogis? Siapakah Jibril yang
mengubah-ubah hal itu?
Kita tidak begitu tahu siapa persisnya
yang telah turut mengabsahkan Lia Eden sebagai utusan Allah selain
dirinya sendiri. Tetapi kita lebih tahu dari buku biografi Muhammad yang
otoritatif, bahwa justru Siti Khadijah (!) yang men-test Jibril, lalu
mengabsahkan kenabian suaminya, dan akhirnya ini dipercaya dan
dibenarkan oleh Muhammad pula, dan diikuti oleh semua Muslim yang merasa
tak perlu meragukan lagi apa pun tentang isu kenabian Muhammad!
Testing
Khadijah adalah menarik, sekaligus lucu. Terbit gagasannya untuk
melakukan testing apakah ruh (“Jibril”) yang mengunjungi suaminya itu
ruh dari Tuhan atau ruh-nya setan. Asumsinya adalah bahwa seorang
“Jibril” tentulah tidak bermata jalang yang suka hal-hal yang porno.
Jadi ia pun memberi instruksi kepada Muhammad agar segera memberitahukan
kepada-nya apabila Muhammad melihat temannya (Jibril) itu datang
mengunjunginya. Ketika “teman” tersebut datang, maka Khadijah menyuruh
suaminya duduk di paha kirinya sambil bertanya: “Apakah engkau masih
melihat dia?” Muhammad menjawab “Ya”. Lalu Khadijah minta Muhammad
pindah duduk ke paha kanannya sambil bertanya hal yang sama. Ketika
Muhammad menjawab bahwa ia masih melihat temannya, maka ia pun melenguh
dan mencopot jilbabnya (memperlihatkan aurat) dan menanyakan hal yang
sama. Dan kali ini Muhammad bilang bahwa temannya tidak lagi kelihatan!
Maka khadijah-pun berteriak, “Bersukacitalah, sepupuku, dan
bergembiralah, sebab demi Allah, itu adalah benar-benar malaikat dan
bukan setan!
[Ibn Ishaq menambahkan, “Ketika saya menceritakan
tradisi ini kepada Abd Allah Ibn Hassan, ia berkata, “Saya mendengar
periwayatan yang sama dari ibu saya Fatima, putri Husain, atas nama
Khadijah.” Menurut versi ini Khadijah menempatkan Nabi ke bawah
pakaiannya (bukan diatas pahanya), saat yang mana sang Jibril lalu
menghilang”]. (lihat Ibn. Hisham “The Life of Muhammad”, vol.1, p.71,
expanded by Abd al-Masih).
Itulah testing satu-satunya yang
pernah ada terhadap kenabian Muhammad. Itu tidak dilakukan oleh nabi
yang ditunjuk Tuhan, melainkan oleh istrinya sendiri yang begitu ingin
mendamaikan hati suaminya yang gelisah. Khadijah bukan kepanjangan
tangan Tuhan, ia bahkan belum masuk Islam dikala itu dan tidak sempat
menunaikan shalat lima waktu. Sayangnya (dan lucunya) testingnya
sebisa-bisanya hanya dikaitkan dengan unsur seksual kedagingan yang
menjadikan suaminya sah seorang Nabi Allah! “Jibril” yang tidak hadir
dalam “adegan aurat wanita” dipastikan adalah Utusan Tuhan yang sejati,
dan bukan jibril-jibrilan?! Tetapi yang paling harus disayangkan adalah
bahwa proklamasi Khadijah ini justru diterima mentah-mentah oleh Nabi
Muhammad sebagai sah dari Tuhannya! Siapa yang lebih bersalah???
Tidak ada komentar:
Posting Komentar